Menjadi mahasiswi biologi, saya akrab dengan banyak jenis penelitian, meskipun tidak semuanya saya jamah. Namun saya sedikitnya paham setiap kali dihadapkan dengan paper hasil publikasi penelitian ilmiah yang terbilang “asing” bagi masyarakat biasa. Banyak jenis-jenis penelitian yang diketahui dan sudah dipelajari manusia. Banyak dari jenis tersebut diaplikasikan ke banyak jenis-jenis objek kehidupan mulai dari hewan, tumbuhan dan bahkan organisme terkecil sekalipun. Banyak dari jenis tema penelitian tersebut dikombinasikan dengan disiplin ilmu lain, dengan prinsip kinerja suatu atau beberapa metode, dengan konsep penelitian terdahulu atau sekedar percobaan dengan beberapa variable. Mungkin kalau disebutkan satu-satu, cerita saya akan membosankan seperti ruang kuliah. Dari banyaknya tema, satu yang membuat saya tertarik. Saya tertarik mendalami konservasi, khusunya alam liar. Melihat alam sekitar yang ramah dengan ekosistem yang seimbang adalah keinginan saya. Dari situ mulai saya berangkat untuk mempelajari hal yang membuat jantung saya berdegup kencang. Beruntung, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah penelitian, melalui sebuah rekruitmen singkat dari pengelola. Chester zoo tepatnya. Saya direkrut sebagai tenaga volunteer. Mendapatkan posisi ini saja, saya sudah bersyukur. Setidaknya saya diizinkan untuk menimba ilmu bersama para rekan yang sudah expert, apalagi sekelas “Chester zoo”. Sepintas tentang Chester, adalah sebuah kebun binatang yang terletak di London, UK dan memiliki program konservasi serta riset yang mumpuni.
Dengan perasaan girang dan sedikit gugup saya berangkat menuju bogor untuk bertemu peneliti utama. Setelah mendapatkan briefing, kami memulai perjalanan kami menuju ke selatan pulau jawa, yaitu garut. Ada apa di Garut? Lalu apa yang kami lakukan disana? Pertanyaan itu muncul ketika teman-teman saya penasaran dengan apa yang akan saya kerjakan. Dengan santai saya menjawab “survey penelitian Babi Kutil”. “Hah, Babi?” “Terus diapain Babinya?” “Ditangkep?” “Kalo lu nanti diseruduk gimana?” “Lu kan kecil?” “Berapa banyak tim nya?” “Ada cowok nya gak?” Hahah. Ya berbagai macam-macam respon dari teman-teman, dan keluarga menjadi yang paling khawatir diantara mereka. Namun, selain respon tersebut, ada pula yang merespon dengan positif (karena memang kita bekerja dan memiliki passion yang sama), mungkin ada pula yang iri ingin mendapatkan kesempatan ini. Ya saya harus bersyukur. Pun saya juga berharap untuk makin banyak orang yang mendapatkan kesempatan ini untuk belajar.
Yang saya lakukan sebagai volunteer adalah untuk mensurvei keberadaan babi kutil. Mengapa Babi kutil? Karena hewan ini merupakan salah satu jenis yang dikategorikan “endangered” atau terancam keberadaannya di alam oleh IUCN. Sementara Indonesia sendiri belum memberikan status perlindungan terhadap hewan ini, sehingga jenis ini masih banyak diburu. Tentunya juga harus banyak dilakukan dokumentasi pada keberadaan hewan ini di alam. Agar dapat diketahui masih ada atau tidakkah hewan ini di alam. Babi kutil atau yang biasa disebut celeng gonteng oleh masyarakat sekitar memiliki bentuk tubuh yang sedikit berbeda dari babi hutan biasa yang sering disebut bagong. Babi bagong dikenal memiliki bentuk tubuh yang besar sedangkan Babi kutil tubuhny lebih kecil dan lebih pendek, namun tubuhnya cenderung memanjang serta tingginya kira-kira berkisar hingga lutut manusia.
Lokasi penelitian yang digunakan adalah cagar alam sancang, garut. Sedikit cerita mengenai cagar alam ini, merupakan rumah bagi banyak jenis satwa liar, tentu saja termasuk babi kutil, sayangnya untuk data daftar spesies yang hidup di kawasan ini belum terdokumentasi dengan sempurna. Kawasan ini memiliki hutan sekunder dan hutan mangrove serta berbatasan dengan perkebunan karet dan berakhir pada pantai yang menghadap selatan pulau jawa. Selama penelitian, saya tinggal di sebuah kantor cagar alam yang letaknya tidak jauh dari lokasi penelitian, yang juga dekat dengan obyek wisata berupa pantai cijeruk, kampung cibaluk, yang menawarkan pesona pantai yang tak kalah indah dengan pantai indonesia di luar pulau jawa sana. Menyenangkan sekali selama tinggal disana.
Seperti halnya kegiatan penelitian lainnya, pengambilan data sampel dan pemiihan metode harus disesuaikan dengan sifat dan perilaku hewan tersebut dan juga data apa yang akan diambil. Karena Babi Kutil termasuk hewan nocturnal atau hewan yang aktif pada malam hari, maka kami melakukan penelusuran survei pada malam hari di hutan. Sebetulnya kami juga melakukan kegiatan pada siang harinya untuk memasang kamera jebak (camera trap) yang disebar ke beberapa titik lokasi penelitian. Namun kami ke hutan pada siang hari hanya pada hari pemasangan kamera saja, selain itu kami melakukannya semua pada malam hari.
Bekerja menggunakan kamera ini pun adalah hal baru bagi saya. cukup mudah untuk mengoperasikan alat ini. tidak rumit karena tidak perlu menghubungkan dengan program lain, cukup dengan memberinya baterai alkali biasa serta mengecek ketersediannya dan memastikan kartu memori telah tertanam didalam kameranya. Tetapi dibutuhkan kemampuan untuk mengetahui angle yang baik untuk mengambil gambar. Beberapa lokasi dengan keberadaan semak yang tinggi harus dihindari dan juga sebaiknya dijauhkan dari panas. Kami juga harus menyembunyikan kamera tersebut dengan benda sekitar karena ternyata benda-benda seperti ini rawan dicolong warga. Duh orang indonesia.
Tidak mudah untuk melakukan survei mammal dan burung secara nocturnal. hewan-hewan ini justru cenderung takut dan mudah menghindar akan keberadaan manusia, sehingga tidak mudah untuk menemukan kelompok hewan ini. akan tetapi apabila sudah memiliki banyak pengalaman terjun ke lapangan dalam pengamatan secara langsung, maka dapat dipastikan dapat mahir dalam menemukan bahkan mengidentifikasi hewan tersebut.
Selama satu bulan, penuh dengan aktivitas keluar masuk hutan dan juga aktivitas “malam” (tapi bukan clubbing ya), ditemani suara burung dan suara serangga malam hari, dinginnya angin malam serta seberkas cahaya senter berfilter merah yang menerangi kami. Sementara pada siang hari, kami harus bersahabat dengan panas terik matahari yang menyengat kulit, juga hafal bau logam pembungkus, rantai dan gembok kamera yang basah oleh embun, serta beberapa kamera jebak pada punggung dan kamera digital pada tangan (kami perlu membawanya untuk dokumentasi). Kami tidak melakukan kegiatan pada siang hari setiap harinya, tapi setidaknya dalam satu bulan kami harus melakukan itu semua sebanyak 4 kali. Dikarenakan selain pemasangan, kami juga harus melakukan pemindahan kamera-kamera tersebut pada titik lokasi lainnya. Selama pemindahan tersebut kami harus melakukan pengecekan apakah selama benda itu terpasang pada lokasi yang dipilih terdapat babi yang tertangkap kamera? Ataukah hewan jenis lain yang tertangkap? Ada ataupun tidak kami harus tetap mencatatnya. Selain itu juga diperlukan melakukan pengecekan pada baterai dan segera menggantinya dengan yang baru apabila sudah habis dayanya. Tentulah baterai ini menjadi barang yang dibutuhkan.
Mungkin saat ini kamu sedang bermain dengan imajinasimu, membayangkan pada apa yang kami lakukan, atau mungkin bahkan berpikir betapa gilanya kami, betapa lelahnya melakukan itu semua. Lelah itu pasti. Semua jenis pekerjaan pastilah melelahkan. Bahkan untuk seorang model pun yang memiliki tugas hanya dengan berpose, tapi pasti terselip rasa lelah. Akan tetapi rasa lelah itu akan terasa berbeda, bila hasil jeri payah lelah kita memuaskan dan berhasil, pasti terasa menyenangkan. Ditambah dengan keberhasilan hasil kerja tersebut adalah hal yang paling kita sukai, membuatnya berkali-kali lipat nilainya. Itulah yang saya rasakan sebagai tenaga relawan. Meskipun rasa lelah menghampiri, tetapi senang rasanya dapat merasakan dan mengenal lebih dalam seperti apa rasanya jadi peneliti. Kegembiraan saya menjadi maksimal kala melihat hasil tangkapan video oleh kamera jebak yang menampilkan gambar Babi pada beberapa kamera yang saya pasang, meskipun itu belum bisa dipastikan apakah hewan tersebut berjenis babi kutil, dikarenakan posisi babi yang tertangkap tidak memperlihatkan wajahnya pada kamera. Tetapi itu sungguh diluar ekspektasi saya. akan lebih berkali-kali kali lipat hebatnya bila menemukan hewan itu pada saat survei malam. Tapi sayang, yang kami temui saat malam adalah hanya suaranya dan suara semak yang diterjang oleh makhluk tersebut. Hewan itu selalu cepat-cepat kabur menghilangkan diri dari pandangan kami. Setidaknya selama survei, terlihat beberapa ekor musang yang menghibur kami.
Menjadi seorang peneliti memang tidaklah mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi dan juga prioritas- prioritas yang dikorbankan, jauh dari keluarga misalnya. Tetapi tugas ini adalah mulia. Indonesia sangat butuh tenaga-tenaga mulia macam ini, untuk membenahi dan mengelola lingkungan sekitar. Alam liar dan seisinya juga tentunya. Karena semua jenis-jenis makhluk hidup yang ada pada berbagai macam ekosistem di Indonesia adalah aset negara yang harus dilestarikan untuk masa depan. Tidak semua orang bisa menjadi peneliti dan butuh upaya yang besar pula untuk mencapai posisi tersebut. Untuk itu sekiranya kita dapat menghargai para peneliti yang telah bekerja keras.