Belajar Toleransi dari Pulau Alor

1451466960698

Rasanya sudah basi sih kalau saya ngomongin ini. Sudah 4 atau 3 tahun yang lalu saya alami. Tetapi kemarin salah satu keluarga saya di Alor membuat story di whatsapp, disitu ia memposting foto kami dan keluarga, ingatan saya jadi kembali memutar wajah-wajah dan momen-momen yang telah tercipta pada waktu itu.

Di judul saya sudah sebut Pulau Alor. Iya ini pengalaman saya ketika saya berada di Pulau Alor. Tahu Pulau Alor? Coba cek peta atau google maps nya dulu. Kamu akan dihantarkan pada sebuah pulau cantik nan indah yang masuk dalam propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebetulnya mereka itu bukan keluarga saya sih. Saya hanya pendatang yang berharap bisa mengabdikan diri sembari mendapatkan nilai dari kampus hehe, iya ini program KKN dari kampus saya hehe. Jangan salah, meskipun begitu perjalanan ini sungguh memberikan pelajaran berharga yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh saya.

Saya tinggal di sana selama dua bulan, seingat saya sejak pertengahan Bulan Ramadhan tahun 2015. Tim dari kampus kami disebar ke tiga desa yaitu Ala’ang, Aimoli dan Alila. Penduduk Ala’ang mayoritas memeluk Kristen, sementara penduduk Aimoli dan Alila sebagian penduduknya ada yang memeluk Islam. Ketika itu saya ditempatkan di Desa Ala’ang.

Saya seorang muslim dan berjilbab. Selama di sana saya tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari warga dan mereka sangat menghormati saya ketika beribadah. Bahkan nife (ibu) saya di rumah turut membangunkan saya dan menyiapkan makanan untuk sahur. Jadilah saya harus semangat menjalani puasa ditengah teriknya matahari Alor, panasnyaaaaa ya Allah, yang tiap kita lewat ke warung lihat ale-ale dingin aja itu menggoda. Tapi aman-aman aja kok puasanya hihi. Perhatian nife kepada saya dan teman-teman ini memang bikin baper, hih diginiin ama nife aja aku baper, gimana sama kamu #plak.

Sebenernya saya agak enggak enak si ke nife, beliau jadi harus lebih memperhatikan makanan dan hal-hal lain untuk kita yang hidupnya penuh dengan aturan ini. Pernah nife tiba-tiba nyuruh saya buat nyembelih ayam coba (karena kita punya aturan sembelih sendiri), saya enggak berani. Btw, ayamnya milik nife sendiri, jangan tanya soal beli ayam potong di super market! Meskipun sering bedah hewan tapi tetep aja kalau nyembelih dari hidup-hidup saya gak berani. Beraninya bius lewat kloroform atau alkohol aja hih! Jadilah teman saya cowok yang turun tangan. Btw lagi, ada 15 orang di tim kita yang tinggal dengan nife, jadinya beliau kerepotan ngurusin kita. Kasian sih ampe nife kayak kecapekan gitu, ya kita juga bantu-bantu nyiapin juga kok.

Pernah waktu itu ada perayaan kepala desa baru, ya semacam acara penobatan gitu deh. Jadilah satu desa itu sibuk, kaum pria ikut bantu-bantu di bagian luar rumah (dekor dll) sementara kaum wanita ya di dapur. Nife berpesan kepada saya dan teman-teman untuk ikut bantu-bantu masak di bagian kambing. Maksudnya nife si biar kita enggak deket-deket dengan bagian babi. Padahal saya sebenarnya penasaran gimana si babi itu diolah, penasaran lihat ngolahnya aja lho ya… gak ikut makan.

Soal kebaikan nife dan warga Alaang ini masih dibilang biasa aja guys. Hal yang lebih mencengangkan dan membuat saya terharu terjadi ketika hari raya idul fitri. Puasa saya di sana, ya otomatis lebaran juga di sana. Ini adalah kali pertama saya lebaran tidak dengan keluarga, Tetapi merayakan lebaran di Alor juga tidak kalah seru. Karena Ala’ang mayoritas kristen, jadilah kita sholat idul fitri di masjid besar Desa Aimoli. Jalan kaki lah kita ramai-ramai. Yah ibadah itu berjalan seperti sholat ied pada umumnya, hingga tiba waktu khutbah ada yang berbeda. Kan setelah sholat ied itu ada ceramahnya kan, jamaah harus dengerin ceramahnya dong. Tetapi tiba-tiba ada warga kristen yang datang masuk ke masjid bersama dengan satu teman kami yang katolik. Jadi, 15 orang tim kami dari Ala’ang itu semuanya muslim kecuali satu orang teman saya, dia pemeluk katolik. Ketika hari raya itu, teman saya turut serta ikut kami ke Desa Aimoli, tetapi dia hanya diam menunggu di luar masjid. Kemudian datanglah warga kristen dan teman saya ini diajak untuk masuk masjid. Dia bingung dan ragu-ragu “Tapi, Bapa…” kemudian Bapak-bapak itu berkata “Masuk saja, semua ceramah agama itu baik” Wahh, INI BENAR-BENAR LANGKA.

Kami semua pun ikut terkejut ketika teman saya masuk. Setelah bertanya pada imam masjid dan beberapa warga yang menjamu kami setelah sholat, mengatakan bahwa itu memang kebiasaan mereka. Jadi gaess, di Desa Aimoli itu ada dua dusun, Dusun satu memeluk Islam dan dusun satunya lagi memeluk Kristen. Setiap kali ada perayaan agama seperti hari raya idul fitri ini, perwakilan warga kristen selalu diundang untuk datang, begitu pula sebaliknya. Ketika warga kristen merayakan natal atau perayaan lainnya, perwakilan warga muslim juga selalu diundang. Teman saya berceloteh “Wah, gue gak pernah lihat hal kayak gini, bahkan di Jawa” bener juga sih dia bilang, di Jawa banyak orang sibuk berselisih soal agama. Tapi jauh dari hingar bingar kemajuan peradaban, Alor sudah punya contoh kerukunan yang lebih indah.

Tidak hanya alamnya saja yang membuat saya kagum dengan Alor, tetapi persaudaraannya telah memukau saya. Karena inilah saya memutuskan untuk menceritakan kembali kisah ini meskipun sudah bertahun-tahun yang lalu. Melihat carut-marut perselisihan identitas di negeri ini yang memuakkan, apalagi diwarnai dengan politik, HADEEEEEEHHH!!!

Kegiatan kami selama dua bulan itu sih utamanya adalah program KKN yang berorientasi pada produksi perikanan dan pertanian. Di sana (di Desa Ala’ang) pertaniannya cukup subur, banyak jenis sayur tumbuh dan lebih besar ketimbang sayur yang saya temui di Pasar dekat rumah. Jangan dikira di sana susah air. Di Ala’ang sumber air su dekat. Alhamdulillah banget. Selain itu ada program pendidikan, ngajar anak-anak SD. Program kesehatan juga ada, perbaikan beberapa infrastruktur. Duh banyak deh. Sehari-sehari selain program, kegiatan kita main sama anak-anak, ngerumpi dengan mama-mama, bantu-bantu di desa dan gereja. Pernah waktu itu, ada kegiatan kerja bakti memperbaiki barang-barang di gereja. Kami yang perempuan ikut membantu di dapur menyiapkan makanan untuk bapak-bapak yang berkerja di luar, dibantu juga oleh teman-teman saya.

Itu adalah kali pertama saya masuk ke dapur gereja. Saya yang memakai jilbab ini memicu perhatian mereka, mereka melempar senyum kepada saya dan teman-teman lain. Kemudian berkenalan satu persatu dan dengan sigap tangan kami langsung meraih pisau atau spatula, sadar diri bantu-bantu Woyy! Ada seseorang perempuan yang sudah berumur menghampiri saya, tubuhnya masih tergolong sehat, bibir dan seluruh mulutnya merah hingga bagian dalam akibat sirih pinang, rambutnya memutih dicepol ke belakang, orang-orang disitu menyebutnya Oma Naomi. Perempuan itu menjabat tangan saya sambil berkata pelan “Kamu Islam eh?” (jangan dibayangin nada songong, kata ‘Eh’ nya itu logat tambahan mereka) saya jawab “Iya, mama” (masih belum tahu harus manggil Oma) lalu Oma Naomi mendekatkan mulutnya ke telinga saya lalu membisikan sesuatu “ASSALAMUALAIKUMMM” Suara Oma keraaaas sekaliii sampai telinga saya sakit. Iya, Oma Naomi memang agak terganggu pendengarannya, jadi ketika berbicara ia cenderung mengeluarkan suara yang keras, apalagi waktu itu di telinga saya. Akan tetapi saat itu saya terharuu mendengarnya, dan kemudian saya balas dengan “Wa’alaikumsalam” lalu dilanjutkan lagi “Maafkan Oma ‘eh, Oma tidak bisa dengar” sambil menunjuk-nunjuk telinganya. Saya manggut-manggut saja sambil tersenyum.

Oh iya, sebenarnya di Ala’ang ini ada tiga keluarga yang memeluk muslim. Mereka adalah para pendatang dari Sulawesi. Selama kami di sana, mereka banyak membantu kami. Ketika lebaran pun, kami juga merayakannya dengan mereka. Habis dijamu oleh warga Aimoli, lanjut di jamu keluarga ini, setelah itu keluarga nima (bapak) dan nife juga menyiapkan makanan untuk kami. Hahahah lebaran makan terooooosss.

1441339870551

Ini keluarga muslim yang ada di Alor

Soal wisata Alor, Wagelaaaaaa seehhh emang bagusss bangeet!! Lautnya beuh! Nih aku kasih tahu spot-spot wisata yang bisa kalian kunjungi ada Pulau Kepa, Pulau Buaya, Pantai Maimol, Pantai Mali, Desa Wisata Takpala, Kolam Bidadari, Pemandian Air Panas Tuti Adagai, Resto Seafood di Kalabahi, dan masih banyak lagi deh. Oh iya, kita juga ada program eksplor wisatanya gitu dan dulu kita pernah buatin akun Instagram ala-ala wisata alor gt, namanya @wanderingalor kalo gak salah. Sila kepoin aja yak kalau misal ingin berkunjung ke Alor. Kalau dari Jawa kesana dua kali naik pesawat, pertama tujuan Kupang dulu, baru pindah ke tujuan Alor. Bisa juga dari Kupang naik kapal ke Alor. Nih beberapa foto yang berhasil kukumpulin, maaf udah lama jadi fotonya pada gak tau kemana. Maaf juga ya foto-foto idul fitri di Aimoli tidak ada.

 

Rasanya satu postingan aja tentang Alor ini gak cukup. Banyak banget hal yang seru, mengharukan, unik, dan pelajaran yang dipetik, yang seharusnya bisa diceritakan. Sayang, waktu itu saya belum mau ngeblog atau bikin video yutub ala-ala, posting instagram aja kagak. Jadi yah sekarang mungut-mungut momen-momen itu deh. Tetapi sekali lagi Alor benar-benar memberikan warna baru, setidaknya memberikan pengalaman pertama kali keluar Pulau Jawa hahaha. Memberikan teman-teman dan keluarga baru dan arti hidup dan belajar untuk saling menghormati satu sama lain dan dan dan yang lainnya. Semoga postingan ini gak ngebosenin yha. Dah jangan berantem lagi soal perbedaan keyakinan, ramashooookkk !!!

Penulis: Maya Damayanti

Saya adalah seorang penggiat lingkungan, khususnya konservasi wildlife.

Satu komentar pada “Belajar Toleransi dari Pulau Alor”

Tinggalkan komentar